Masa remaja menurut WHO adalah antara 10-24
tahun, sedangkan menurut Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja
awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 hingga 17 atau 18
tahun). Masa remaja atau adolescence adalah waktu terjadinya perubahan-perubahan yang
berlangsungnya cepat dalam hal pertumbuhan fisik,kognitif, dan psikososial atau
tingkah laku. Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa
ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan
fungsi endokrin. Pada saat pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi
tubuh.
Masalah gizi yang terjadi pada remaja umumnya disebabkan oleh satu sumber utama yaitu pola makan yang kurang tepat. Pola makan yang kurang tepat secara garis besar dipengaruhi dua hal, antara lain faktor lingkungan dan faktor personal atau individu dari remaja itu sendiri.
Perilaku makan yang kurang tepat dapat membawa dampak negative terhadap kesehatan atau status gizi remaja. Berikut beberapa masalah gizi yang dapat dialami oleh remaja.
Masalah gizi yang terjadi pada remaja umumnya disebabkan oleh satu sumber utama yaitu pola makan yang kurang tepat. Pola makan yang kurang tepat secara garis besar dipengaruhi dua hal, antara lain faktor lingkungan dan faktor personal atau individu dari remaja itu sendiri.
Perilaku makan yang kurang tepat dapat membawa dampak negative terhadap kesehatan atau status gizi remaja. Berikut beberapa masalah gizi yang dapat dialami oleh remaja.
1. Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau
penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara
berlebihan. Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan
pengukuran antropometri berupa pengukuran BB, TB ataupun LLA maupun pemeriksaan
laboratorik seperti pemeriksaan kadar kolesterol, LDL, HDL maupun trigliserid
dalam darah.
Kelompok
anak dan remaja merupakan kelompok rawan terjadinya obesitas. Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas
dimasa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif
dikemudian hari.
Beberapa
factor penyebab obesitas pada remaja dan anak-anak diantaranya factor genetic
yang cukup berperan dalam kejadian obesitas pada anak. Seorang anak dengan
kedua orang tua yang obesitas memiliki resiko 80% juga akan menderita obesitas.
Selain factor genetic, factor lingkungan seperti gaya hidup, status social
ekonomi, maupun letak geografis juga sangat berpengaruh pada kejadian obesitas
pada anak dan remaja.
Prevalensi
obesitas anak saat ini mengalami peningkatan di berbagai negara tidak
terkecuali Indonesia. Tingginya prevalensi obesitas anak disebabkan oleh
pertumbuhan urbanisasi dan perubahan gaya hidup seseorang. Menurut WHO, satu
dari 10 (sepuluh) anak di dunia mengalami kegemukan. Prevalensi yang cenderung
meningkat baik pada anak maupun orang dewasa sudah merupakan peringatan bagi
pemerintah dan masyarakat bahwa obesitas dan segala implikasinya memerlukan
perhatian khusus.
Sejak
tahun 1970 hingga sekarang, kejadian obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada
anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga (3) kali lipat
pada anak usia 6-11 tahun. Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia
6-15 tahun meningkat dari 5% tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001(soegondo, 2008).
2. Kurang
Energi Kronis
Kurang
Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan makanan dalam waktu yang
lama sehingga menyebabkan ukuran Indeks Massa Tubuhnya (IMT) di bawah normal
(kurang 18,5 untuk orang dewasa) (persagi, 2009). Kurang energy kronis
merupakan kondisi dimana seorang remaja mengalami kekurangan makanan yang
berlangsung menahun yang mengakibatkan gangguan kesehatan dengan tanda-tanda
seperti lemah dan pucat.
Pada
remaja badan kurus atau disebut Kurang Energi Kronis (KEK) tidak selalu berupa
akibat terlalu banyak olah raga atau aktivitas fisik. Pada umumnya KEK pada
remaja terjadi akibat makan terlalu sedikit. Remaja perempuan yang menurunkan
berat badan secara drastis erat hubungannya dengan faktor emosional seperti takut
gemuk seperti ibunya atau dipandang lawan jenis kurang seksi.
Remaja
dengan kurang energy kronis yang tidak ditanggulangi dengan baik akan memiliki
kecenderungan melahirkan bayi yang BBLR jika hamil. Dan mengakibatkan ganguan
metabolisme pada masa balita sang anak yang nantinya akan menimbulkan resiko
KEK saat sang anak menginjak masa remaja.
Kekurangan
Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar 24,9% pada tahun 1999
dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan
risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok
umur lebih tua.
3. Anemia
defisiensi besi
Anemia
karena kurang zat besi adalah masalah yang paling umum dijumpai
terutama pada
perempuan. Zat besi diperlukan untuk membentuk sel-sel darah merah, dikonversi
menjadi hemoglobin, beredar ke seluruh jaringan tubuh, berfungsi sebagai
pembawa oksigen. Remaja perempuan membutuhkan lebih banyak zat besi daripada
laki-laki. Anemia, terjadi pula karena peningkatan kebutuhan pada tubuh
seseorang seperti pada saat menstruasi, kehamilan, melahirkan, sementara zat
besi yang masuk sedikit.
Agar
zat besi yang diabsorbsi lebih banyak tersedia oleh tubuh, maka diperlukan
bahan makanan yang berkualitas tinggi. Seperti pada daging, hati, ikan, ayam,
selain itu bahan maknan yang tinggi vitamin C membantu penyerapan zat besi.
Anemia
pada anak sekolah dapat menyebabkan anak menjadi lemah, kurang nafsu makan,
menururnnya sistim imun tubuh serta gangguan pada regenerasi sel. Selain itu,
anemia pada remaja juga menurunkan fungsi kognitif dan berpengaruh pada psikis
serta prilaku. Hai ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan prestasi
belajar dan rendahnya kemampuan intelektualitas anak hingga dapat berdampak
pada kualitas sumberdaya manusia di Negara tersebut.
Anemia
defisiensi besi adalah jenis anemia yang sering dijumpai. Diperkirakan 25% dari
total penduduk dunia menderita anemia jenis ini. Penyakit ini cenderung
diderita oleh penduduk di Negara-negara sedang berkembang daripada Negara
maju.diperkirakan 36% populasi di Negara berkembang menderita anemia jenis ini,
sedangkan di Negara maju hanya diperkirakan sekitar 8% dari total penduduknya
menderita anemia jenis ini. Di Indonesia
prevalensi nemia pada remaja dan anak sekolah masih menunjukkan angka yang
tinggi. Sekitar 37% dari total populasi di Indonesia.